HUKUM “TABUR-TUAI” VS HUKUM “KASIH KARUNIA/ANUGERAH

Secara sederhana dapat dikatakan hukum “Tabur Tuai” (TT) merupakan konsekuensi yang setimpal yang diterima oleh individu berdasarkan apa yang telah diperbuatnya.

Jika seseorang berbuat baik kepada orang lain, sebagai ganjarannya ia akan memperoleh kebaikan pula, entah dari orang yang sama atau dari orang lain yang tidak ia kenal, atau mengalami keberuntungan.

Demikian sebaliknya, jika ia berbuat jahat, maka ia akan menerima balasannya pula entah dari orang yang sama atau orang lain yang tidak ia kenal, atau mengalami kemalangan.

Orang Kristen, yang percaya bahwa semesta raya ini adalah ciptaan Tuhan, mengimani Sang Penciptalah yang menciptakan mekanisme ini. Mekanisme itu menjadi cerminan salah satu  karakterNya yakni Allah yang Maha Adil dan Maha Kudus, selain Maha Kuasa dan Maha Kasih.

Selaku Pribadi Yang Maha Adil, Tuhan terlebih dahulu memberitahu konsekuensi yang akan dialami oleh manusia jika mereka menabur kejahatan atau ketidaktaatan. Puluhan ayat Alkitab dalam Perjanjian Lama  (PL) menulis Tuhan akan membalas setiap dosa dan pelanggaran tiap individu.

Adam sudah diberitahu bahwa jika dia makan buah pengetahuan yang baik dan jahat di taman Eden akan mati. Namun dia tetap nekat menabur pelanggaran, alhasil dia menuai maut. Pertama mati secara rohani, lalu otomatis jasmaninya juga mati walau terjadinya 830 tahun kemudian.

Karena upah dosa adalah maut. Ini juga terkait karakter Allah yang Maha Kudus. Siapa yang berdosa, dia melanggar kekudusan Allah sehingga Allah yang Maha Adil akan bertindak. Siapa individu pertama yang nekat menabur kejahatan walau sudah paham akan konsekuensinya? Manusia?

Bukan! Iblis. Walaupun sudah tahu bahwa dia dan para malaikatnya nanti akan menuai siksa api neraka, namun akibat kesombongannya, iblis atau satan, si naga besar itu atau si ular tua (Wah 12:9) tetap memberontak terhadap Allah dan menyeret sepertiga malaikat-malaikat untuk ikut dengannya.

Kepada bangsa budak alumni Mesir, Tuhan menghadirkan hal serupa: berkat dan kutuk sebagai buah dari ketaatan dan ketidaktaatan (Ul 28). Jika mereka taat dan setia terhadap segala perintahNya, maka mereka akan diberkati. Jika mereka memberontak, mereka akan memakan kutuk.

Sejatinya hukum Taurat itu juga mencerminkan hukum TT, karena setiap kejahatan akan diganjar secara setimpal: “..mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki,..” (Kel 21:24).

Namun Tuhan Yesus merangkumkannya secara lebih aktif dan positif: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, PERBUATLAH demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 7:12).

Tuhan Yesus TIDAK pernah menggambarkannya secara pasif dan negatif: “Segala sesuatu yang kamu TIDAK kehendaki orang perbuat kepadamu, JANGANLAH berbuat demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. TIDAK.

Belakangan ini, hukum TT cukup populer secara global dengan sebutan yang agama lain bilang:  Karma. Segala kebaikan atau kemalangan menimpa seserang lalu dihubungkan Karma. Termasuk orang Kristen.

Faktanya, hukum TT ini tidak mutlak berlaku dan ada kelemahannya. Apa itu? Apakah setiap kebaikan, berkat, kemujuran yang diterima seseorang SELALU merupakan konsekuensi dari perbuatan baiknya? Ternyata tidak bukan?

Demikian pula sebaliknya apakah setiap kemalangan, kebangkrutan, kemiskinan, sakit-penyakit, ketidakberuntungan yang diderita seseorang adalah SELALU buah dari perbuatannya yang jahat?

Tentu tidak.

Tetapi pola pikir berdasarkan hukum TT  inilah yang meracuni pikiran sahabat-sahabat Ayub (kecuali Elihu). Melihat Ayub kehilangan harta dan anak serta menderita sakit yang sedemikian hebat, mereka menuduh Ayub sebelumnya pasti sudah melakukan perbuatan yang jahat.

Padahal Ayub adalah orang benar di mata Allah, yang sangat Tuhan bangga-banggakan terhadap iblis bahwasanya dia tetap saleh, jujur dan takut akan Allah dan menjauhi kejahatan walaupun habis “dikerjain” oleh iblis: kehilangan semua harta benda, pegawai dan anak-anaknya:

"Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan" (Ay 2:3).

Dari kitab Ayub, orang jadi tahu bahwa iblislah biang kerok semua penderitaan Ayub, bukan karena dosa Ayub. Tapi kenapa Ayub menderita? Karena Tuhan memang sedang bertaruh dengan iblis bahwasanya Ayub hambaNya tetap setia tidak menyangkalNya walau mengalami penderitaan.

Ayub memang menderita, tapi Tuhan justru memanfaatkan penderitaannya sebagai sarana untuk memperkenalkan diriNya kepada Ayub secara pribadi, lantaran selama ini “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ay 42:5).

Maklumlah Ayub hidup sejaman dengan Abraham, tidak tinggal di Kanaan dan bukan orang Ibrani pula. Jadi pada jamannya belum ada kitab suci untuk tahu tentang Tuhan dan belum ada nabi yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Semuanya hanya dari kata orang.

Jadi hukum TT tidak berlaku pada kasus penderitaan Ayub? Yes tapi hanya pada kasus  penderitaannya. Karena penderitaannya terjadi bukan karena dia menabur dosa tetapi semata-mata ulah si iblis. Tetapi dalam aspek lain, hukum itu tetap berlaku terhadap Ayub.

Ayub tetap menabur kesetiaan dan tidak menghiraukan provokasi istrinya yang mendorong dia menyumpahi Allah.  Alhasil dia menuai umur panjang, peningkatan kekayaan dua kali lipat, memperoleh 10 anak-anak yang baru dari isteri yang baru (Ay 42:13-17).

Selain pada kasus Ayub, “problem” dari hukum TT ini makin nampak sewaktu Tuhan Yesus hadir.

Saat para muridNya melihat ada orang buta sejak lahirnya, mereka menuduh ini akibat dosa orang ini sendiri atau orang tuanya. Tapi itu dibantah oleh Tuhan Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh 9:2-3).

Pola pikir yang “logis” dari hukum TT ini juga merasuki pikiran Petrus. Makanya dia menyanggah pemberitahuan dari Tuhan Yesus bahwa diriNya akan menderita salib, mati dan bangkit.

Menurut Petrus, Rabi Yesus yang adalah orang baik pasti akan dijauhkan oleh Tuhan dari segala mara bahaya dan penderitaan. Syukurlah Tuhan Yesus segera waspada terhadap pola pikir yang “logis” tersebut:

"Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia" (Mark 8:33). Pola pikir yang menurut ukuran dunia “logis dan masuk akal” itulah yang iblis coba suntikkan ke dalam alam pikiran Petrus.

Dari situ tampak ada hukum lain yang mengeleminir hukum TT. Apa itu? Hukum "kasih karunia/anugerah". Hukum ini terkait karakter Allah Yang Maha Kasih.

Manusia sejatinya menuai maut karena sudah menabur dosa sejak lahir lantaran imbas dosa Adam si manusia pertama. Tetapi karena kasih karunia atau anugerah, Sang Firman rela menjadi manusia dan menderita disalib, mati dan bangkit untuk menebut dosa seluruh umat manusia.

Padahal Tuhan Yesus tidak layak menderita seperti itu jika menurut aturan hukum TT.

Karena apa yang  Tuhan Yesus tabur yakni menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mengusir setan, memberi makan 5.000 orang, memberitakan Injil, menubuatkan akhir jaman, mengajarkan Firman Tuhan, adalah amat sangat baik.

Akan tetapi apa tuaian yang diterimaNya? Kebaikankah? No, Salib! Oleh karena hukum "kasih-karunia/anugerah", Tuhan Yesus rela disalib, mati dan bangkit. Jadi Yesus yang tidak layak mati harus mati, sehingga semua manusia yang layak mati jadi memperoleh hidup.

Dengan catatan manusia yang layak mati tersebut jika mau diselamatkan harus menabur percaya alias beriman kepadaNya, baru hukum kasih karunai atau anugerah itu berlaku.  

“Celaka” nya, begitu menjadi percaya kepada Yesus dan menjadi pengikutNya, mereka juga akan mengalami penderitaan yang sama yang dialami Yesus oleh karena menanggung namaNya (Kis 9:16). Tidak heran mereka akan dibenci oleh dunia (Yoh 15:18).

Tuhan bilang: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24); “Cawanku memang akan kamu minum..” (Mat 20:23); “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan,.. (Yoh 16:33).

Jadi setiap pengikut Tuhan Yesus walau sudah menabur banyak kebaikan, tapi sebagai balasannya dia bisa saja dibenci, difitnah, diperlakukan tidak adil, dilarang beribadah, dipersekusi, disiksa bahkan dibunuh, oleh karena namaNya. Jelas sama seperti Yesus, dalam kasus ini hukum TT tidak berlaku.  

Jadi dengan adanya hukum "kasih karunia/anugerah", hukum TT sama sekali sudah tidak berlaku lagi? No way. Hukum TT itu tetap berjalan beriringan dengan hukum kasih karunia/anugerah.

Hukum itu tidak berlaku hanya dalam kasus “salib” atau “cawan” yang harus diderita anak-anak Tuhan oleh karena menanggung risiko menjadi murid-muridNya.

Tuhan Yesus bilang setiap orang yang berbuat baik kepada muridNya walaupun hanya secangkir air sejuk pun tidak akan kehilangan upahnya (Mat 10:42).  Demikian pula sebaliknya, setiap orang yang berbuat jahat kepada setiap muridNya akan menerima balasannya.  

Jadi seorang muridNya yang dipukuli orang bukan karena berbuat jahat tapi lantaran dia bercerita tentang Kristus kepada umat agama lain, jika dia tidak membalas melainkan mengampuni mereka dan menyerahkan pembalasan kepada Tuhan, sesuai FirmanNya di dalam Alkitab,

maka Tuhan akan bertindak, karena “Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya,..” (Roma 2:6). Akan tetapi, oleh karena dia sudah merasakan kasih karunia atau anugerah Tuhan, dia mempunyai pilihan lain yang lebih agung daripada hanya mengampuni. Apa itu?

Tuhan Yesus bilang “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5:44). Jadi doakan musuhnya, bukan sekedar mengampuni, karena mengampuni itu wajib hukumnya lantaran kalo tidak mengampuni musuhnya, bahaya, karena Tuhan juga tidak akan mengampuni dirinya.

Apa isi doanya? Mohon pengampunan bagi mereka yang menganiayanya. Apa akibatnya jika dia memohon pengampunan bagi para penganiaya dirinya? Musuh-musuhnya bukan hanya terhindar dari hukuman Allah, tapi juga jadi sadar, bertobat, percaya Yesus dan diselamatkan.

Doa mohon pengampunan bagi musuh yang menganiayanya merupakan game changer karena bukan hanya sudah membatalkan hukuman yang harusnya dituai oleh mereka yang mempersekusinya tetapi malah sebaliknya: mereka bertobat dan jadi muridNya juga.

Jadi, berkat doa memohon pengampunan, anak Tuhan (harusnya tidak layak dihukum) menderita persekusi, agar mereka yang mempersekusi (harusnya layak dihukum) tidak kena hukuman dari Tuhan dan lebih dari itu, mereka mendapat anugerah pertobatan dan percaya kepada Yesus.

 
Contoh?

Terhadap mereka yang menyalibkanNya, Tuhan Yesus bukan saja tidak menuntut hukuman atas mereka melainkan memanjatkan doa pengampunan bagi mereka: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Luk 23:24).

Hasilnya? Sewaktu Petrus berkotbah, 3.000 orang yang sebelumnya berteriak-teriak “Salibkan Dia!”,  bertobat dan percaya kepada Yesus.

Stefanus, sewaktu dirajam oleh orang-orang Yahudi berdoa: "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" (Kis 7:60). Apa hasilnya? Saulus orang Farisi dari mazhab yang paling keras, yang juga setuju bahwa Stefanus mati dibunuh, bertobat dan menjadi Rasul Tuhan Yesus yang tangguh.

Jadi terbukti hukum "kasih karunia/anugerah" melebihi hukum TT. Namun karena mekanisme tersebut sama-sama mencerminkan karakterNya, keduanya tetap berjalan bersama-sama. Rasul Paulus senantiasa memperingatkan Jemaat Tuhan terkait apa yang harus ditabur dan seberapa banyak.

Kepada jemaat Galatia Paulus memperingatkan: “Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (Gal 6:8).

Khusus kepada Jemaat Korintus Paulus mengingatkan mereka untuk senantiasa siap membantu jemaat lain yang berkekurangan. Paulus juga membahasakan bantuan material tersebut dengan kata “menabur”.

Jika jemaat menabur sedikit, jemaat akan menuai sedikit; jika jemaat menabur banyak, jemaat akan menuai banyak. Itu hal yang fair atau adil:

“Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Kor 9:6).

Kepada Jemaat Filipi yang mengambil bagian dalam kesusahan Paulus dengan  “menabur” bantuan material, Paulus mengatakan hasil “tuaian” mereka adalah: ”Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus” (Fil 4:19).

Karena Tuhan Yesus mengatakan “Berilah maka kamu akan diberi..” (Luk 6:38).

Jadi apa kesimpulannya?

Hukum “Tabur Tuai” (TT) merupakan cerminan dari salah satu karakter Allah yakni Maha Adil dan Maha Suci, selain Maha Benar dan Maha Kuasa. Namun hukum TT itu tidak mutlak karena ada hukum lain yang lebih tinggi yang merupakan cerminan dari Allah yang Maha Kasih yakni Hukum “kasih karunia/anugerah”.

Hukum terakhir tersebut sudah diaplikasikan oleh Tuhan Yesus dengan menjalani salib, mati dan bangkit untuk menebus dosa manusia. Orang yang sudah percaya kepada Tuhan Yesus juga harus memikul salibnya sendiri, namun diharapkan dia mau mengaplikasikan Hukum “Kasih Karunia/anugerah” itu.

Dengan cara bukan hanya dirinya mengampuni musuhnya yang mempersekusinya tapi juga memanjatkan doa agar Tuhan mengampuni mereka. Sehingga mereka tidak hanya diampuni melainkan bertobat dan kemudian jadi pengikut Kristus, seperti pada kasus Tuhan Yesus dan Stefanus. 

Namun demikian Hukum TT tetap berlaku dan berjalan beriringan dengan Hukum “Kasih Karunia/anugerah” itu.

GBU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

- TUHAN BERDAULAT UNTUK MENYEMBUHKAN ATAU TIDAK MENYEMBUHKAN ANDA. BENARKAH?

TERBIASA MENGALAHKAN SINGA

”DENGAN BILUR-BILURNYA KAMU SUDAH SEMBUH.” SEMBUH DARI APAKAH YANG DIMAKSUD? BACA COMMENTARY!