MENYANGKAL DIRI VS MENYANGKAL YESUS (1)

Menyangkal Diri

 adalah merendahkan diri sampai kedagingan seseorang itu mati (Roma 8:13). Pupus sudah egonya, sudah tidak bisa menyetir dia lagi. Karena ia telah mati, kini Sang Hidup (Yoh 14:6) itu mengambil alih sepenuhnya identitas, emosi, aspirasi dan tujuan hidupnya.

 Karena sudah mati, dirinya kini sudah tidak ada lagi karena sudah digantikan oleh Dia (Gal 2:20) yang sudah ada sebelum segala sesuatu ada (Kol 1:17).

 Orang itu bukan lagi dia, yang sekarang ada tapi besok tiada, tapi menjadi dia yang selama-lamanya ada, karena dia kini bersama dengan Dia yang Ada selama-lamanya, Sang Alfa dan Omega (Wah 1:8).

 Katakanlah dia seorang pejabat terpandang, tapi ia sangkali, karena kini ia menjadi pelayan manusia. Orang kenal dia sebagai artis kondang, tapi ia sangkali, karena kini ia menjadi hambaNya. Dia anak pengusaha terkemuka, tapi ia sangkali, karena kini ia menjadi anak Bapa di sorga.     

 Walau ia profesor yang tersohor karena kepandaiannya, tapi ia sangkali. Karena kini ia berusaha menjadi bodoh di hadapanNya, supaya ia memiliki hikmatNya (1 Kor 3:18). Sehingga dia tidak lagi bergantung kepada kepandaiannya tapi bergantung pada kekuatan Roh Kudus (1 Kor 2:4).

 Ia tidak mempertahankan kedudukannya yang mulia di mata manusia sebagai milik yang harus ia pertahankan, melainkan mengosongkan dirinya dan menjadi hamba bagi orang-orang yang dia layani. Itulah sikap yang ia --selaku murid-- teladani dari Sang Guru (Fil 2:7).

 Masih pentingkah ia bagi dirinya sendiri? Tidak. Lalu siapakah kini yang dia pentingkan? Orang lain (Fil 2:4). Kini ia fokus kepada orang lain karena sudah menjadi pelayan bagi orang lain (Mat 20:26; 23:11). Ia tidak mencari kepentingan diri sendiri tapi kepentingan Kristus Yesus (Fil 2:21).

 Mengapa tidak mengutamakan dirinya dulu? Wong sudah mati, untuk apa memprioritaskan orang mati? Jika tidak memikirkan diri sendiri, siapa yang akan memikirkan dirinya? Sang Pemilik jiwanya.

 Dirinya sendiri? Seperti saya bilang tadi, dirinya telah mati dan hidupnya tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah (Kol 3:3). Karena tersembunyi di dalam Kristus, susah bagi si jahat untuk membidikkan panah apinya kepadanya (Ef 6:16).

 Tak heran kosa kata “aku” dan sejenisnya sulit keluar dari mulutnya. Tidak pernah ia berucap: ini gerejaku, ini domba-dombaku, ini pelayananku, ini hasil penginjilanku, ini uang perpuluhanku, ini grup WA ku, karena kini yang ada padanya semua dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia (Roma 11:36).

 Sejak ia mencari kerajaan Allah dan kebenaranNya, kebutuhannya pribadi dan segala tetek bengeknya kini tidak lagi menjadi urusannya, melainkan menjadi tanggungjawabNya (Mat 6:33), supaya dengan demikian ia berkenan kepada Sang Komandan (2 Tim 2:4).

 Pribadinya tidak mungkin tersinggung tatkala dihina, karena orang mati tidak bisa berreaksi. Dia tidak akan marah tatkala dirinya tidak dianggap, karena mau dianggap sebagai apa, wong sudah mati? Dia tidak akan membalas tatkala difitnah, karena orang mati tidak bisa membalas.

 Dia tidak bakal protes dan ngadu kepada Tuhan atas persekusi fisik yang dialaminya di dalam jemaat maupun di luar (Yoh 16:33), padahal dia sudah menjalankan perintahNya. Karena dia tahu itu salib yang harus dia pikul untuk mengikut Dia (Mat 16:24; Mark 8:34; Luk 9:23).

 Alih-alih baper, ia malah berbahagia (1 Pet 3:14). Ia gembira karena ia telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus (Kis 5:41). Sukacitanya muncul secara natural dalam kondisi yang paling ekstrem sekalipun, bukan dibikin-bikin karena itu buah dari Roh Kudus (Gal 5:22).

 Karena sudah mati, ia tidak bisa dendam pada mereka yang menyiksanya, malah ia mendoakan mereka (Mat 5:44). Dia tahu, musuhnya bukanlah manusia, tapi entitas jahat dengan sistem pemerintahan sendiri yang beroperasi di udara (Ef 6:12), dan bekerja di antara orang-orang durhaka (Ef 2:2).

 Lantaran sudah mati, dia tidak punya aspirasi lagi selain aspirasi Bapa sorgawi yakni supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat (2 Pet 3:9) dan kerinduannya pun sama dengan kerinduan Tuhan Yesus:

  “..yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman”(Yoh 6:37).

  Ia tidak punya opini. Orang mati mana bisa beropini? FirmanNya kini menjadi pendapatnya, PerkataanNya jadi buah pikirannya. Mewujudkan FirmanNya kini menjadi hasrat dan ambisinya.

 Dengan keras kepala ia mempertahankan FirmanNya, sampai FirmanNya terwujud nyata di dalam pelayanannya, tanpa tidak peduli kepada omongan manusia sehingga dikatain kurang waras, sama seperti Gurunya (Mark 3:21).

 Takutkah dia kepada iblis? Tidak. Orang mati mana bisa takut? Dia sudah mati dan Yesus, yang selama ini kepada siapa ia tunduk, hidup di dalam dia. Alhasil tatkala iblis dia lawan, iblis pun lari daripadanya (Yak 4:7).

 Takut miskinkah dia? Orang mati kok takut miskin. Selama ia mementingkan kerajaanNya, Allahnya akan memenuhi segala keperluannya menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus (Fil 4:19).

 Tidak perlu tunggu “upahmu besar di sorga”. Dia pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat apa yang telah ia korbankan karena memikul salib: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan (Mark 10:30).

 Tapi hidupnya hanya untuk berbagi, dengan demikian dia mengumpulkan harta sorgawi (Mark 10:21). Dia paham bahwa kredit poin tertinggi adalah jiwa. Semakin banyak jiwa yang ia menangkan dan ia muridkan (Mat 28:18-20), semakin besar kemuliaan yang akan ia terima secara kekal.

 Takut sakit kah dia? Tidak (Maz 91:5-6). Mengapa tidak takut pada penyakit?

 Kedagingannya sudah mati, sehingga mudah bagi Roh Kudus untuk menghidupkan tubuhnya yang fana itu (Roma 8:11), agar sel-sel tubuhnya yang mati karena penyakit menjadi hidup kembali alias sembuh, sehat, dan terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatanganNya (1Tes 5:23).

 Karena dia sudah mati, Roh Kudus yang berdiam dalam tubuhnya dapat bekerja dengan sebebas-bebasnya untuk menghajar penyakit yang diderita oleh orang yang dia doakan. Alhasil dia sukses menjalankan perintahNya: ”Sembuhkanlah orang sakit..” (Mat 10:8; Luk 10:9).

 Takut matikah dia? Tidak. Lha selama ini kan dia memang sudah mati. Dia tidak takut kepada mereka yang hanya dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; dia hanya takut kepada Bapa yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka (Mat 10:28).

 Jadi biarpun ujung laras senjata api menempel di jidatnya atau pedang menyentuh lehernya, tak kan sekali-kali ia menyangkalNya. Karena baginya hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Fil 1:21).

 Selama ia masih hidup, ia memberi buah bagi Kristus. Jika ia mati, ia berjumpa Kristus, itu jauh lebih baik (Fil 1:23).  Jadi takkan mungkin ia menyangkalNya. Lagipula ia paham betul, Yesus akan menyangkalnya di hadapan Bapa dan para malaikatNya, jika ia melakukannya (Mat 10:33).

 Jadi jika ada orang mau membunuhnya, siapa takut.  Tidak ada yang ia pertahankan selain imannya. Toh dia memang sudah mati, sudah tidak ada, dan tidak penting. Karena dirinya sudah ia sangkali. Dia bukan siapa-siapa, hanya Yesus yang hidup dan berkuasa di dalam dirinya.

 Maka, di Firdaus ia akan berjumpa denganNya, muka dengan muka. Karena Dia pun sudah rindu bertemu dengan hambaNya yang setia, yang telah menang (Wah 3:21), untuk memberi upahnya (Mat 25:23), yakni kemuliaan bersama-sama Dia (2 Kor 4:17, 1 Pet 5:1,4).

 Jerih payahnya di dalam Kristus tidak sia-sia  (1 Kor 15:58).

 GBU.

 Bagaimana dengan menyangkal Yesus? (sampai besok).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

- TUHAN BERDAULAT UNTUK MENYEMBUHKAN ATAU TIDAK MENYEMBUHKAN ANDA. BENARKAH?

TERBIASA MENGALAHKAN SINGA

”DENGAN BILUR-BILURNYA KAMU SUDAH SEMBUH.” SEMBUH DARI APAKAH YANG DIMAKSUD? BACA COMMENTARY!